Jumat, 06 Juni 2025

Penolakan Tambang Nikel Raja Ampat Adalah Ekspresi Keras Menentang Kehadiran Penjajah Indonesia Di Papua

 Penolakan Tambang Nikel Raja Ampat Adalah Ekspresi Keras Menentang Kehadiran Penjajah Indonesia Di Papua  


Papua, KNPB News ( 06/2025 ) kehadiran perusahaan tambang nikel di kepulauan Raja Ampat, Papua tidak hanya menghancurkan keindahan alam Raja Ampat yang dianggap sebagai salah satu destinasi wisata dunia yang terkenal hingga mancanegara, tetapi juga menghancurkan ekosistem hutan laut dan kehidupan masyarakat adat orang asli di Raja Ampat yang sebagian besar menggantungkan hidup pada hasil hutan dan laut.


Proyek Strategis Nasional (PSN) di Papua adalah mega-infrastruktur of dispossession, yaitu infrastruktur raksasa yg berfungsi sebagai mekanisme primitive accumulation dalam versi abad ke-21. PSN adalah wajah mutakhir dari kapitalisme kolonial, sebuah mesin perampasan yang bekerja atas nama negara, investasi, dan kepentingan global. 


Di Merauke, negara merampas 2,3 juta hektare lahan adat untuk klaster pangan dan energi. Di klaster 2 (Wogikel–Wanam, 283.000 ha) dan klaster 3 (Tanah Miring–Jagebob, 39.579 ha), mesin-mesin Jhonlin Group menggunduli hutan adat dengan kekuatan represif negara sebagai pelindungnya yaitu dengan kekuatan militer. Sementara di Fakfak, dibangun Kawasan Industri Pupuk seluas 2.000 hektar. Ini adalah ekosida yg dilegalkan, di mana aparat dan undang-undang hanya menjadi alat pendukung bagi korporasi.


Di Raja Ampat sendiri luas konsesi tambang nikel yang dikelola oleh beberapa perusahaan adalah PT Gag Nikel memiliki konsesi 13.136 hektare di Pulau Gag, dengan IPPKH 603,25 hektare. 

PT Kawei Sejahtera Mining memiliki IUP 5.922 hektare di Pulau Kawei. 

PT Anugerah Surya Pratama menguasai 9.365 hektare di Pulau Waigeo dan 1.167 hektare di Pulau Manuran.

PT Mulia Raymond Perkasa memiliki IUP 2.194 hektare di Pulau Manyaifun dan Batang Pele.


Mereka tidak membangun, mereka menjarah seperti predator dalam struktur kapitalisme di Indonesia. Istilah yang lebih tepat bagi mereka para oligarki-oligarki yang masuk ke tanah Papua melalui perusahaan-perusahaan tersebut adalah perampok ekologis (ecological looters) dan kapitalis parasit (parasitic capitalists), yg menciptakan surplus bukan dari inovasi, melainkan dari perampasan wilayah hidup rakyat kecil.


Dalam paradigma accumulation by dispossession (Harvey, 2005), tanah adat, hutan, dan kehidupan masyarakat di modifikasi, diubah menjadi nilai tukar, dan dimasukkan kedalam sirkuit kapital. Dalam proses ini, yang dihancurkan bukan hanya ekologi, tapi juga ontologi hidup masyarakat adat Papua, atau cara hidup, sistem makna, dan spiritualitas yg berakar dalam tanah dan ruang.


Proyek ini menunjukkan logika necropolitik (Mbembe, 2003) negara menciptakan kondisi di mana kehidupan rakyat Papua tidak layak hidup, sambil memberikan legitimasi kekerasan atas nama “pembangunan nasional”. Di sini, teknokrasi pembangunan beraliansi dengan militerisme, menciptakan apa yang bisa disebut sebagai rezim militer-kapitalis: suatu tatanan politik di mana kekuatan senjata dan uang bekerja simultan dalam menduduki dan menguasai ruang-ruang rakyat.


Dalam konteks ini, proyek-proyek PSN bukan kebijakan pembangunan, tapi alat kolonisasi ekonomi. Elite seperti Bahlil tidak bisa lagi disebut sebagai pejabat negara biasa, tetapi sebagai manajer kapitalisme kolonial, sekaligus pencuri identitas politik rakyat Papua. Dengan menyamar sebagai “anak Papua”, ia melakukan apropriasi politik identitas, sebuah bentuk kekerasan simbolik yang menyamarkan kolonialisme sebagai representasi.


Sementara, bupati, gubernur, DPRP, MRP, dan elite adat adalah kolaborator lokal dalam proyek kolonialisme neoliberal. Mereka adalah bagian dari apa yang Frantz Fanon (1961) sebut sebagai “kelas menengah terjajah yg bermimpi menjadi penjajah”, mereka meniru gaya, retorika, dan brutalitas kolonialisme yang menindas bangsanya sendiri demi sedikit kekuasaan dan akses pada meja makan para tuan besar. Mereka adalah klas kolaborator, pelumas mesin penghancur yang bernama PSN.


Bangsa Papua harus keluar dari jebakan kolonialisme pembangunan dan ilusi negara kesejahteraan. Jalan kita adalah jalan pembebasan. Tidak ada kemerdekaan tanpa kesadaran. Tidak ada pembebasan tanpa perlawanan. Dan tidak ada perlawanan yang menang tanpa organisasi rakyat yang ideologis dan revolusioner.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warga Mengungsi Akibat Konflik Bersenjata Antara TPNPB Dan Militer Pemerintah Indonesia Di Kabupaten Puncak

 Warga Mengungsi Akibat Konflik Bersenjata Antara TPNPB Dan Militer Pemerintah Indonesia Di Kabupaten Puncak ILAGA, KNPBnews , Senin,23 Juni...